Refleksi Rembug Nasional Muhammadiyah: Teologi Al-Ma’un dan Oligarki

July 29, 2020, oleh: superadmin

Refleksi Rembug Nasional Muhammadiyah:

Teologi Al-Ma’un dan Oligarki

Affandi

 

MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Negara-negara dengan sistem demokrasi di Eropa, Amerika dan Asia Tenggara sedang berhadapan dengan politik oligarki. Jeffrey Winters, pengamat politik dan penulis buku Oligarki, mengatakan bahwa oligark (orang-orang dalam jaringan oligarki) di negara-negara berkembang seperti Indonesia berkontribusi besar pada pengekangan hak sipil, kesetaraan akses kesehatan dan pendidikan, serta sukses meredam partisipasi masyarakat sipil. Busyro Muqoddas, ketua PP Muhammadiyah, pada awal tahun juga mengungkap hal senada. Mantan ketua KPK itu mengatakan bahwa relasi antara organisasi masyarakat sipil (CSO) dan negara merenggang. Sementara itu, relasi antara sektor privat dan negara makin intensif. Sektor privat yang dimaksud oleh Busyro itu sama dengan apa yang diungkap oleh Winters sebagai “oligarki” yakni jaringan politik kekuasaan minoritas (rule of the few).

Menurut Winters, dalam kasus Indonesia, gelombang protes dan demonstrasi reformasi tahun 1998 tidak mengakhiri era “oligarki sultanistik” rezim Orde Baru tapi menggantikannya dengan oligarki jenis baru yakni “oligarki kolektif”, di sinilah awal mula masalah. Winters menambahkan bahwa para oligark (elit oligarkis) memiliki banyak cara mengekspresikan kekuasaan mereka dalam demokrasi Indonesia pasca krisis 1998.

Nurhasim, dalam bukunya berjudul Personalisasi Partai Politik di Indonesia Era Reformasi (2018), mengatakan bahwa oligarki masuk merusak demokrasi justru melalui partai politik. Dia mencontohkan praktik pembelian suara atau bandar suara bagi kader partai yang berkontestasi. Politik transaksional adalah ekses langsung dari munculnya bandar modal bagi calon anggota legislatif. Tidak jarang oligark punya kepentingan langsung atau tak langsung menggalang dana kampanye bagi salah saut kandidat kepala daerah.

Salah satu literatur penting mengenai relasi antara oligarki dan politik pemerintahan adalah buku berjudul Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age Markets (2004) yang ditulis oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz. Mereka mengatakan bahwa kekuatan oligarki dalam pemilu, pilkada dan pileg terlihat jelas melalui ketimpangan modal masing-masing kontestan. Kekuatan uang berkorelasi positif dengan dukungan massa, dan persis dengan cara itulah oligark mempertahankan pengaruhnya.

Sesuai hukum oligarki politik (Iron Law of Oligarchy), para elit politik di berbagai lembaga strategis negara pada akhirnya hanya menjadi kepanjangan tangan para oligark, demikian jelas Robert Michels dalam Political Parties: A Sociological Study of The Oligarchical Tendencies of Modern Democracy (1915).

Sebagai hasilnya, berbagai peraturan dan perundang-undangan di bidang pengelolaan Sumber Daya Alam, industri dan hukum yang tidak dijiwai oleh semangat pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, mengancam kepentingan rakyat kecil dan hanya menguntungkan para pemodal banyak bermunculan.

Peluang Menang Teologi Al-Ma’un Muhammadiyah

Oligarki politik punya masalah mendasar, yakni bahwa sistem kekuasaan ini diatur oleh kekayaan. Sehingga juga bisa disebut sebagai plutokrasi atau pemerintahan oleh orang kaya. Kekuatan ekonomi (timematon) sebagai dasar menguasai pemerintahan pada akhirnya memunculkan konflik antara kepentingan mayoritas orang miskin dengan kepentingan minoritas orang kaya.

Dalam gambaran yang lebih kasar, pertentangan itu muncul pada ketimpangan yang semakin tajam antara kelompok miskin dan kaya yang oleh filsuf Sokrates diandaikan dalam klaster hunian orang kaya dengan berbagai kawasan konsentrasi orang miskin (slum area), demikian ungkap Martin Suryajaya dalam Sejarah Pemikiran Politik Klasik (2015).

Praktik oligarki politik dan bisnis yang berupaya menyumbat distribusi kesejahteraan adalah bencana peradaban yang dihujat dalam teologi Al-Ma’un. Maka Muhammadiyah punya tanggungjawab tidak langsung untuk turut serta mentransformasikan teologi Al-Ma’un menjadi gagasan pembelaan yang berkemajuan. Apalagi nyata adanya “penguasaan segelintir orang” atas urusan ekonomi, politik dan bisnis, berdampak pada bencana kelaparan, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan dan konflik komunal.

Syafrudin Anhar dalam Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan: Catatan Kritis Muktamar Teladan Ke-47 Muhammadiyah di Makasar 2015 (2016) menjelaskan bahwa teologi Al-Ma’un mengajarkan dua dimensi sekaligus, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah mu’amalah (al-‘amal al-iqtishadiyah), yakni ibadah untuk mensejahterakan dan menghilangkan kemiskinan umat.

Pengejewantahan teologi Al-Ma’un yang dibahasakan oleh Moeslim Abdurrahman dalam Islam Sebagai Kritik Sosial (2003) sebagai advokasi ekonomi kaum tertindas dan duafa harus dioptimalkan. Sebab menurut Winters, oligark dan oligarki hanya akan lenyap jika distribusi sumber daya material yang timpang ditiadakan. Sehingga tidak ada lagi celah bagi kekuasaan politik yang terlalu besar kepada segelintir pelaku. Muhammadiyah punya sumberdaya untuk merumuskan bentuk dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid yang berbeda.

Apalagi Muhammadiyah merupakan kekuatan sipil yang dapat berperan sebagai kelompok penekan (pressure groups) dan kelompok kepentingan (interest groups) sebagaimana ditekankan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam artikel bertajuk Proporsionalitas Peran Ormas dan Civil Society (muhammadiyah.id, 22/7/2020).

RembugNas Hempas Oligarki?

Dalam posisi itu, Muhammadiyah selain hadir dalam kerja nyata advokasi kelompok dhuafa di lapangan, juga turut menghadirkan narasi alternatif, termasuk menggelar Rembug Nasional selama lima putaran dengan menghadirkan akademisi, aktivis, negarawan, tokoh agama hingga profesor untuk menghasilkan rumusan akhir yang akan diserahkan pada pemerintah pusat sebagai rekomendasi yang solutif dan konstruktif.

“Kebijakan negara akhir-akhir ini semakin menjauh dari kehidupan daulat rakyat, dari moralitas konstitusi UUD 1945. Oleh karena itu ini adalah upaya kita bersama bagaimana mengajak kebijakan negara ke jalan yang benar, kembali pada spirit daulat rakyat dan kemerdekaan bangsa,” ujar Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dalam pembukaan Rembug Nasional, Rabu (8/7).

Kritik konstruktif yang disebut Busyro sebagai “moral etis” itu adalah bentuk tanggung jawab Muhammadiyah dalam membantu menata arah kiblat politik pemerintahan di dalam aspek HAM dan sumber daya alam yang tergerus oleh oligarki sehingga semakin melenceng dari jiwa pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

“Mudah-mudahan perbaikan di negara ini bisa kita lakukan dengan sentuhan moral, rasional, suara rakyat yang dijiwai dengan agama dan kebangsaan dengan keprihatinan sosial beserta komitmen pada kaum duafa dan tertindas yang itu menjadi realitas dan harus kita advokasi,” tegasnya dalam forum kedua Rembug Nasional, Jumat (17/7).