Calon Tunggal dalam Pemilukada

October 12, 2015, oleh: superadmin

1009b2aOleh: Bambang Eka Cahyo Widodo*

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UndangUndang No 8 tahun 2015 yang tercatat sebagai perkara konstitusi No 100/PUUXIII/ 2015, mengundang perdebatan menarik dari sisi politik maupun dari sisi konstitusi. Dari sisi politik putusan MK ini menegaskan demokrasi tanpa kontestasi adalah sah dengan segala konsekuensinya. Dari sisi konstitusi putusan ini membuka jalan buntu akibat tidak adanya calon alternatif dalam pemilihan kepala daerah.

Tulisan ini mengajak pembaca memikirkan ulang fenomena calon tunggal ini pasca putusan MK, sekaligus mempersoalkan implikasi serius dari disahkannya pemilu tanpa kontestasi ini. Putusan MK tersebut di atas mengandung makna penting sebagai pembelajaran bagi partai politik yang diberi mandat penuh untuk mengusung pasangan calon dalam pemilu termasuk pemilukada, yakni semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai infrastruktur utama dalam sistem politik.

Dalam pemilihan umum termasuk pemilukada, ada dua hak konstitusional yang penting yang sesungguhnya dijamin pemenuhannya oleh pemilihan umum yakni hak untuk dipilih dan hak untuk memilih. Hak untuk memilih kandidat yang diusung oleh partai politik pada dasarnya adalah menyetujui gagasan, ide, program dan visi yang ditawarkan oleh kandidat tersebut.

Memilih kandidat tertentu dalam pemilu lebih dalam lagi adalah yang terbaik dari ide, gagasan, program, dan visi yang ditawarkan para kandidat yang berkontestasi dalam pemilu atau pemilukada. Karena itu kontestasi dalam pemilu tidak semata memilih kandidat tapi juga memilih ide dan gagasan yang terbaik untuk dijadikan prioritas utama dalam lima tahun kedepan.

Dari perspektif pendidikan politik, kontestasi dalam pemilu ini memberikan kesempatan pada pemilih untuk menimbang, menilai dan memutuskan gagasan, ide, program maupun visi siapa yang paling realistis dan pantas didukung dalam pemilihan umum atau pilkada. Perdebatan yang lahir dari perbedaan ide, gagasan, program dan visi masingmasing kandidat adalah dalam rangka mempertajam ide, gagasan, program dan visi tersebut, sehingga siapapun yang akhirnya menang dalam kontestasi tersebut memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap persoalanpersoalan yang menjadi perhatian publik di daerah tersebut.

Sebaliknya yang kalah dalam kontestasi memiliki kesempatan untuk menjadi oposisi yang mengkritisi terus menerus gagasan yang dijalankan oleh pemenang kontestasi. Bagi masyarakat, perbedaan pendapat dan kontestasi politik yang terjadi dalam ruang publik, bisa menjadi arena belajar yang penting dalam memahami dan menilai persoalanpersoalan yang diperdebatkan.

Kondisi inilah yang sesungguhnya dihilangkan dari demokrasi tanpa kontestasi yang diputuskan oleh MK beberapa waktu yang lalu. Memang kita bisa saja berdalih bahwa calon tunggal pun dituntut untuk memperjelas ide, gagasan, program dan visi mereka melalui kampanye, tapi tentu berbeda jika ada fihak pesaing yang secara khusus dan kritis mencermatinya.

Dari perspektif yang lain, kontestasi ide, gagasan, program dan visi kandidat akan memudahkan proses akuntabilitas demokratis bagi kandidat yang terpilih. Penajaman visi misi dalam kampanye menjadi ide gagasan yang lebih dimengerti dan difahami pemilih adalah tantangan setiap kandidat yang maju dalam pemilu dan pemilukada. Masalah terbesar dari calon tunggal dalam demokrasi non kontestasi ini adalah proses penajaman visi misi dan gagasan serta ide tersebut tidak seintensif jika ada lebih dari satu calon.

Ada dorongan calon lain untuk mengkritisi setiap gagasan yang diajukan oleh calon lain. Lebih dari itu calon tunggal tidak memiliki kesempatan untuk berdebat dan mempersoalkan detail program dan gagasan yang diajukan. Padahal detail itulah yang sering menjadi masalah dalam setiap program dan gagasan yang ditawarkan. Akuntabilitas demokratis kepala daerah terpilih bisa dituntut melalui catatan-catatan detail yang mengikuti program dan kegiatan yang ditawarkannya ketika kampanye.

Jika politik dimaknai sebagai proses penentuan prioritasprioritas utama yang akan dilaksanakan dalam periode waktu tertentu, maka proses pemilu adalah proses untuk mengukur prioritas mana yang lebih menarik bagi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi. Calon tunggal dalam demokrasi non kontestasi ini berpotensi mengaburkan pilihanpilihan prioritas tersebut karena ketiadaan ruang publik yang memadai untuk memperdebatkan setiap gagasan yang dimunculkan oleh kandidat tunggal tersebut.

  • Dosen Senior Ilmu Pemerintahan UMY, mantan Ketua Bawaslu, tulisan pernah dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta