Kuliah Umum : Penguatan Peran Legislasi DPD Pasca Putusan MK

November 30, 2016, oleh: superadmin

dsc_0342-1Program Studi Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY, pada hari Jumat, 25 November 2016 di Ruang Sidang A.R. Fakrudin B lt.5 menyelenggarakan kuliah umum. Kuliah umum tersebut dalam rangka meningkatkan pengetahuan mahasiswa tentang Peran Legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pasca Putusan Makahmah Konstitusi. Hadir dalam kuliah umum tersebut adalah Drs. H. Muhammad Afnan Hadikusumo yang merupakan Anggota DPD RI dari DIY. Ketentuan UUD 1945 yang mengatur keberadaan DPD dalam struktur ketatanegaran dimaksudkan untuk (1) Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah; (2) Meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Selain itu, keberadaan DPD diharapkan menciptkan check and balances di tubuh parlemen, agar produk perundang-undangan yang dibuat lebih berkualitas dari sisi partisipatif, aspiratif, dan akuntabel sehingga tidak mudah untuk diajukan Judicial Review.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Keputusan Nomor 92/PPUU-X/2012 yang bersifat final and binding sehingga mengikat lembaga Negara dan harus diimplementasikan. Adapun isi keputusan tersebut secara garis besar menyatakan bahwa DPD bersama DPR dan Presiden berhak turut serta mengajukan, menyusun prolegnas, hingga membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan daerah. Misalnya, terkait RUU otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai amanat Pasal 22D ayat (1), (2) UUD 1945.
Namun dalam prakteknya DPR telah mengabaikan keputusan MK tesebut, terbukti ketika tanggal 8 Juli 2014 mereka mengesahkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagai pengganti UU No. 27 Tahun 2009 mereka sama sekali tidak memasukan substansi keputusan MK tersebut. Pengabaian putusan MK tersebut tentu saja merupakan bentuk pelanggaran konstitusi dan pelanggaran hukum. Andai pelanggaran konstitusi tersebut akibat ketidaktahuan DPR dalam menjabarkan keputusan MK Nomor 92/2012 ke dalam pasal-pasal di UU MD, maka beberapa langka dibawah ini mungkin bisa menambah cakrawala pandang teman-teman di DPR dalam proses penetapan UU.
Pertama, mempererat kerjasama kelembagaan dengan DPD RI yang sah secara konstitusional. Kedua, perlu dilakukan revisi atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) agar selaras dengan keputusan MK. Ketiga, disusun tata tertib bersama berkaitan dengan proses penyusunan Prolegnas dan pembahasan RUU yang melibatkan tri patrit (DPR, DPD, dan Eksekutif). Keempat, bilamana perlu dilakukan distribusi tugas antara DPR dengan DPD dalam penyusunan RUU sejak persiapan Naskah Akademik sampai dengan pembahasannya. Atau meniru model Jepang, dimana Parlemen Jepang terdiri dari dua badan, yaitu Majelis Rendah (Shugiin) dan Majelis Tinggi (Sangiin).