Opini: Idealisme yang tersisa di Kampus Muda Mendunia

March 18, 2016, oleh: superadmin

Pagi itu tepatnya Rabu, 16 Maret 2016 pukul 08.00 WIB, segerombolan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berbondong-bondong datang ke sebuah mobil yang disampingnya tertera tulisan “ Indomaret”. Rupanya tak hanya mahasiswa yang tergabung dalam aliansi tersebut, namun di dalamnya ada juga salah seorang Dosen yang akrab dipanggil “ Cak David” akademisi yang memang selama ini selalu menolak keras bentuk-bentuk praktek kapitalisme di bumi Pertiwi khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedatangan rombongan bukan untuk membeli produk-produk yang ada di dalam mobil melainkan memprotes dan mempertanyakan keberadaan indomaret di kampus islami tersebut. Salah seorang petinggi Muhammadiyah pun dengan terang-terangan memarahi pihak kampus yang memberi izin serta mahasiswa Fakultas Ekonomi yang melakukan kerjasama dengan pihak Indomaret. Saya pun bertanya kepada mahasiswa yang sekaligus menjabat menjadi gubernur BEM FE tersebut “ bagaimana bisa saudara mengundang pihak indomaret masuk ke kampus”? lalu dengan nada gugup iya pun menjawab “ maaf mas saya tidak tahu kalau ternayta kampus melarang Indomaret masuk”. Jujur saja sebagai mahasiswa saya sangat miris mendengar jawaban tersebut. Jawaban itu mengindikasikan bahwa sudah tak ada lagi kepekaan mahasiswa terhadap masyarakat, gelar agen of change dan agen of control kini hanya menjadi simbol semata. Kami menolak Indomaret bukan karena produknya yang mahal, tetapi karena keberadaan Indomaret merusak dan menghancurkan warung-warung kecil di sekitarnya.

   Saya tidak sepenuhnya menyalahkan pihak Mahasiswa FE yang melakukan kontrak dengan Indomaret tetapi juga menyayangkan kurikulum dan Para Akademisi yang mendidik mahasiswa untuk mencari untung sebesar-besarnya tanpa berusaha melihat bagaimana keadaan masyarakat. Ini yang saya katakana sebagai “krisis idealisme “. Saya sedikit mengutip kata-kata Prof. Dr. Machfud MD, beliau mengatakan bahwa “mahasiswa sekarang orientasinya adalah lulus cepat dan mendapat pekerjaan yang cepat”. Memang itulah kenyataannya, sistem dan kurikulum memaksa mahasiswa untuk bersikap apatis terhadap keadaan sekitar.

   Selaku mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik tentu saya sangat tidak setuju dengan ekspansi toko berjejaring yang mulai menerobos dunia akademik. Sangat disayangkan apabila intelektual-intelektual muda yang memiliki banyak pengetahuan lambat laun kehilangan idealisme akibat godaan materi yang diiming-imingi oleh kaum borjuis. Saya rasa memang benar adanya isu-isu yang beredar bahwa kaum akademisi mulai terseret oleh sistem neoliberalisme yang menyebabkan mereka sibuk bekerja untuk individu masing-masng tanpa harus peka dan tanggap terhadap permasalahan sekitar. Tom Bottomore dalam bukunya “elite and society” (1993) mengatakan bahwa kaum elite terbagi menjadi tiga yaitu kaum intelektual, pimpinan industri dan petinggi pemerintahan. Semenjak abad ke 18 dan 19 kaum elite begitu gencar-gencarnya melawan gerakan kapitalisme tetapi tak sedikit juga diantaranya yang mendukung keberadaan kapitalisme, namun pada abad ke 20 keadaan begitu berubah dimana kapitalis mampu menguasai kaum elite sehingga pergerakannya menjadi leluasa.

   Saya masih ingat sekali apa yang dikatakan oleh Francis Fukuyama (1992) dalam bukunya “ the end of the history and the last man” bahwa ideologi terakhir dunia yang berhasil mengalahkan ideologi-ideologi lainnya yaitu ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal. Saya pun tak begitu heran apabila idealisme kaum intelektual perlahan-perlahan mulai terenggut oleh gerakan-gerakan kapitalisasi.

         Namun hari itu membuat saya percaya bahwa ternyata masih ada idealisme yang tersisa di segelintir akademisi dan mahasiswa. Ternyata masih ada orang-orang baik yang rela mengorbankan waktu dan tenaga demi memprotes gerakan kapitalisasi di kampus yang bersemboyan muda mendunia tersebut. Pada bagian akhir tulisan ini, saya ingin menuliskan sebuah puisi yang berjudul “Ketika”.

ketika

ketika pagi tak mampu menyegarkan badan
siang tak mampu menghangatkan
dan malam tak mampu menenangkan
semua terasa hambar

ketika jiwa tak mampu menopang raga
raga tak mampu membakar nestapa
nestapa pun tak mampu berhenti bicara
maka saat itulah melawan adalah cara

ketika kematian adalah akhir dari penderitaan
diam adalah cara mencari aman
menindas adalah cara menggapai kekuasaan
beretorika adalah cara menipu bawahan
maka saat itulah kata revolusi dibutuhkan

ketika tanah leluhur dirampas
hutan dibabat dan dikuras
isi bumi pun diperas
maka saat itulah api perlawanan harus segera dikobarkan

18 - Foto Rifki SanahdiOleh:
Rifki Sanahdi
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Angkatan 2013